4 hal perlu di ingat
Setiap orang
akan menuai apa yang ditanam
Tidak semua orang mampu berpikir panjang. Apalagi dengan perhitungan yang teliti. Itulah kenapa tidak sedikit yang melakukan sesuatu cuma buat keuntungan sesaat. “Yang penting saya untung, peduli amat orang lain!”
Tidak semua orang mampu berpikir panjang. Apalagi dengan perhitungan yang teliti. Itulah kenapa tidak sedikit yang melakukan sesuatu cuma buat keuntungan sesaat. “Yang penting saya untung, peduli amat orang lain!”
Padahal, alam mengajarkan bahwa aksi
sama dengan reaksi. Apa yang diterima alam, itulah yang akan diberikan ke
manusia. Ada banjir karena keseimbangan alam terganggu: penebangan hutan, buang
sampah ke sungai, dan lain-lain.
Begitu pun dalam pergaulan sesama
manusia. Kita akan menerima apa yang telah kita berikan. Jika kebaikan yang
kita berikan, balasannya pun tak jauh dari kebaikan. Bahkan, mungkin lebih.
Para pedagang, baik barang dan jasa,
paham sekali rumus ini. Kalau mereka ingin mendapat kebaikan dari konsumen,
pancingannya pun dengan sesuatu yang baik. Ada pedagang yang menyediakan air
minum kemasan gratis, keramahan para pelayan, bahkan ruangan khusus untuk
menunggu. Mereka menganggap: konsumen adalah raja.
Dalam dakwah pun seperti itu. Dakwah
akan diterima mudah jika seluruh kemasannya selalu baik: penyampaian yang
santun, isi yang tidak meresahkan, perhatian yang tidak pernah putus, dan tentu
saja, bukti kongkrit si penyampai yang selalu baik. Kalau ini yang terus
bergulir, para pelaksana dakwah tidak perlu repot-repot mengarahkan ke mana
suara umat saat partisipasi mereka dibutuhkan.
Jika kita tidak
ingin keburukan, begitu pun orang lain
Semua orang ingin mendapatkan yang baik. Begitu pun sebaliknya. Tak ada yang ingin dapat yang buruk. Cuma masalahnya, sikap itu tidak diiringi dengan aksi yang positif. Ketika dapat ingin yang baik, tapi saat memberi selalu yang buruk.
Semua orang ingin mendapatkan yang baik. Begitu pun sebaliknya. Tak ada yang ingin dapat yang buruk. Cuma masalahnya, sikap itu tidak diiringi dengan aksi yang positif. Ketika dapat ingin yang baik, tapi saat memberi selalu yang buruk.
Sebenarnya, ketika seorang melakukan
sesuatu yang buruk, saat itu juga ia sedang berharap ada keburukan yang akan ia
terima. Disadari atau tidak. Sayangnya, jarang yang mau bercermin diri: apa
yang telah saya lakukan. Lebih banyak mana: baik atau buruk. Baru kemudian,
kenapa orang lain berbuat buruk pada saya?
Al-Qur’an bahkan mengajarkan untuk
membalas keburukan dengan cara yang terbaik. Allah swt. berfirman dalam surah
Fushilat ayat 34. “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah
(kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat
setia.”
Ini memang berat. Ajaran ini lebih
tinggi dari sekadar kebaikan berbalas kebaikan, dan keburukan berbalas hal
serupa. Lebih dari itu, memberikan reaksi dari sebuah keburukan dengan sudut
pandang positif. Dan hasilnya sangat luar biasa. Keburukan bukan hanya hilang,
tapi berganti dengan kebaikan.
Itulah yang dilakukan Rasulullah
saw. saat penaklukan Mekah. Tak seorang pun yang ditakut-takuti, disiksa, atau
hukum mati tanpa sebab. Justru, yang keluar dari mulut Rasulullah saw. adalah
pengampunan dan perdamaian. Inilah yang menjadikan Mekah berubah seratus delapan
puluh derajat. Drastis! Orang yang dulu memusuhi Islam menjadi pembela Islam.
Berpikirlah apa
yang bisa diberikan, bukan yang diterima
Semangat berbuat baik memang tidak akan tumbuh dari mereka yang punya sikap pasif. Ketika yang dipikirkan seseorang cuma bagaimana menerima, darimana datangnya penerimaan; seluruh otot aktivitasnya menjadi mandul. Semangat berbuat baiknya sudah mati sebelum fisiknya benar-benar mati.
Semangat berbuat baik memang tidak akan tumbuh dari mereka yang punya sikap pasif. Ketika yang dipikirkan seseorang cuma bagaimana menerima, darimana datangnya penerimaan; seluruh otot aktivitasnya menjadi mandul. Semangat berbuat baiknya sudah mati sebelum fisiknya benar-benar mati.
Tentunya, sulit mendapatkan sesuatu
yang positif dari orang tipe ini. Jangankan membalas keburukan dengan kebaikan,
mengawali kebaikan pun terasa berat. Semua aktivitasnya terkungkung dalam
kalkulator sempit. Hitungannya selalu pada keuntungan materi sesaat. Bukan
sesuatu yang lebih mahal dari sekadar materi. Antara lain, ketenangan,
keharmonisan, cinta dan persaudaraan.
Tokoh Anwar Ibrahim mungkin salah
satu contoh baik. Mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia ini pernah difitnah
secara keji. Tidak tanggung-tanggung, ia dituduh pelaku korupsi dan kejahatan
homoseksual. Namun, seluruh warga tempat tinggalnya siap menjadi saksi: bahwa
Anwar mustahil seperti yang dituduhkan. Itulah buah baik yang selama ini telah
ditanam Anwar. Masyarakat sekitarnya, tanpa diminta pun, siap menjadi pembela.
Siapkan awal
buat akhir, bukan sebaliknya
Seorang mukmin punya visi tersendiri tentang amal kebaikan. Kebaikan bukan sekadar tuntutan pergaulan universal, tapi sebagai bekal di hari kemudian. Itulah investasi atau tabungan yang tidak pernah rugi.
Seorang mukmin punya visi tersendiri tentang amal kebaikan. Kebaikan bukan sekadar tuntutan pergaulan universal, tapi sebagai bekal di hari kemudian. Itulah investasi atau tabungan yang tidak pernah rugi.
Allah swt. berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan
bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Al-Hasyr:18)
Masalahnya, kesadaran itu kadang
larut dengan gemerlap dunia materialistis. Kebaikan bergeser dari tabungan buat
akhirat menjadi hitung-hitungan untung rugi. Berapa yang telah dikeluarkan, dan
berapa yang akan diterima. Inilah akhirnya, orang menjadi miskin bekal. Jika
itu yang terjadi, kesudahan selalu berujung pada penyesalan.
Maha Benar Allah swt. dalam
firman-Nya, “Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah
pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Al-Zalzalah:7-8)
Comments
Thanks